Event



Outside  of Frame

Dimana posisi dan bagaimana perkembangan seni rupa Bali era tahun 2000 ke atas, ketika para perupa dan kritikus seni rupa mewacanakan apa yang mereka sebut sebagai seni kontemporer? Bagaimana memetakannya, setelah era tahun 1930-an lahir perkumpulan Pita Maha yang menjadi wadah bagi komunitas seni tradisional pelukis gaya Ubud, gaya Batuan, gaya wayang Kamasan,dan juga gaya Pengosekan;lalu seni rupa moderen sampai tahun 1960-an, berlanjut ke generasi yang melahirkan peruapa-perupa seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, Made Budiana, Made Bendi Yuda,  Agung Mangu Putra, Pande Ketut Taman, Putu Sutawijaya, Nyoman Sukari, Ketut Tenang, Made Bakti Wiyasa, Nyoman Masriadi, Made Arya Palguna, dan lain-lain, dari tahun 1970-an sampai seputar tahun 2000-an, hal mana mayoritas alumni ISI Yogyakarta dari komunitas Sanggar Dewata Indonesia (SDI). Pada pendeklarasiannya tahun 1970 itu, mereka  mengusung tema religius kultural Bali dalam  teknik berkarya secara moderen, berbeda dengan para pendahulu mereka di Pita Maha atau komunitas wayang Kamasan di Klungkung misalnya. Kecenderungan perupa-perupa moderen  dan kontemporer dari Bali tersebut, dipetakan sebagai ''Kubu Bali'' tersendiri, selain ''Kubu Yogya'' yang mengangkat tema-tema sosial dan realis dan ''Kubu Bandung'' yang dianggap sebagai modernis.

Tiap perupa ataupun kelompok perupa, dalam suatu periode, lazimnya punya kegelisahan kreatif serupa; dimana posisi  mereka dalam percaturan seni rupa. Juga, bagaimana eksistensi individualnya dalam sejarah seni rupa, dan setiap karya dan gelar karya, entah di ''pameran yang melirik pasar''  ataupun ''pameran-pameran yang tak peduli pasar''. Mereka yang sudah mulai akrab di pasar pun, tetap memerlukan ruang aksi ''non pasar'' untuk unjuk diri, unjuk  kekuatan sekaligus menguji, bahwa kreativitas berada di posisi pertama,pasar adalah hal nomor dua.

Berdirinya SDI di Yogyakarta pada tahun 1970 oleh tokoh seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Pande Supada, Wayan Arsana, dan lain-lain, pertama mereka mentransformasi ikon-ikon Bali dan itu berarti membuat posisi terhadap seni rupa tradisional Bali yang didominasi Pita Maha, kedua, mereka juga membangun posisi diantara kecenderungan yang berkembang di Bandung,Yogyakarta, maupun Jakarta. Masing-masing kubu yang bertarung diantara mereka, pertarungan mereka adalah pergulatan kreatif yang bercampur dengan pergulatan meraih pasar. Pertama, tentu pasar dalam arti ''pasar gagasan'' dan kedua, ''pasar finansial'' yang ada di tangan para art dealer  maupun kolektor seni rupa.

Menggali Estetika Baru?

Lalu, para perupa  muda dalam perhelatan bertajuk Outside  of Frame berada pada posisi yang mana? Dengan karya-karya yang tampil di Outside  of Frame ini, hasrat lepas dari format yang telah dirasakan menjadi konvensional, sangat terasa pada karya beberapa perupa. Mereka boleh jadi  didorong oleh hasrat eksistensial yang sangat kuat.  Bagaimana kita membaca ekspresi visual mereka dalam karya-karya yang ditampilkan di perhelatan Outside  of Frame ini?  Bila dikelompokkan sederhana, setidaknya ada dua kecenderungan.

Pertama, terasa ada gejolak dan hasrat memberontak, melawan estetika konvensional. Perlawanan itu  terasa dalam karya-karya perupa  yang berhimpun dalam ''Roda Art Project, New Generation From Bali.'' Memang, ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Tak bisa dipungkiri, rezim seni rupa yang bersifat konvensional di Pulau Bali ini, seperti tercermin dalam koleksi museum-museum besar yang ada di Bali. Dalam ''Roda Art Project'' ini ada nama Rio Saren (L. 1981), Wayan Linggih (L. 1983),Ketut Suasana ''Kabul'' (L. 1978), Made Wahyu (L. 1985), Nyoman Suyadnya (L. 1987), Nyoman Kandika (L. 1981),Subiartana (L. 1988), Suartana(L. 1984), Dewa Gede Saputra(L. 1990), Widodo Kabutdo(L. 1982), Raden Prakiyul Wahono Noto Susanto dan  Kadek Guna Tiana.

Mereka umumnya merespon benda-benda temuan yang punya story  ataupun history. Visinya beragam. Ada yang terobsesi bahwa benda temuan itu telah melewati ruang dan waktu, melewati aneka peristiwa yang berhubungan dengan manusia sebelumnya. Ia bisa berupa benda yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari serta terkesan remeh-temeh, ia juga bisa berupa benda yang punya makna penting dan khusus dalam kehidupan orang Bali. Benda-benda seperti alu bekas (luu) ,  penanggalan kuno dari kayu (tike), tas kresek, sabut kelapa,  peti kayu kuna  penyimpan perhiasan, bekas-bekas bangunan beton, kulit coklat dan batu paras,korek api, kokokan kayu yang dikalungkan di leher sapi, tempurung kelapa, selang plastik, dan lain-lain.

Untuk melakukan dobrakan yang mengguncang secara visual maupun intelektual, benda-benda temuan yang ''ditemukan'' dan ''dieksplorasi'' para perupa ''Roda Art Project'' ini belum menjadi eye catching  yang cukup kuat. Ia belum menampilkan kompleksitas dari perubahan sosial budaya yang berlangsung di Bali, yang kini gegap gempita, dan kalau direspon melalui eksplorasi benda-benda yang memiliki makna historis maupun story  luar biasa. Perupa-perupa muda ini memerlukan tantangan yang lebih serius, agar bisa mengeksplorasi lebih jauh lagi, ibarat penambang yang mengebor lebih dalam untuk memperoleh emas yang lebih murni dan berkualitas. Marilah berfantasi, andai diantara karya itu terdapat benda bersejarah, misal saja sisa-sisa terbakarnya gedung diskotik di Kuta pada ledakan bom Bali 2002, atau barangkali mesin mobil yang hancur yang dipakai teroris mengangkut bom; representasi  kekerasan luar biasa dari teroris yang membunuh atas nama keyakinan agama. Atau benda seperti perahu para nelayan yang tersingkir karena pantai dikuasai investor yang bersekongkol dengan penguasa, dan lain sebagainya.

Kedua,  perupa yang relatif sudah mulai settled dan tidak bergejolak, nampak ada perupa muda Putu Edy Asmara, Uuk Paramahita, Made Gunawan dan Bambang Juliartha. Berbeda dari perupa-perupa ''Roda Art Project'', empat sekawan yang beberapa waktu lalu ikut pameran di Beijing Biennale 2012  ini, dalam 10 tahun ini menampilkan diri dan karyanya di berbagai perhelatan seni rupa di Bali, Indonesia maupun Asia. Presentasi visual yang khas dan unik diperlihatkan oleh karya-karya Uuk Paramahita. Kanvasnya hening  dan sunyi, ia menggubah tema-tema sosial sehari-hari tanpa pretensi politis. Putu Edy pun memiliki teknik dan presentasi visual yang unik dan khas. Ia menghadirkan problematik manusia yang sangat umum. Nampaknya Edy  lebih menonjol pada presentasi visual dibanding eksplorasi intelektualnya. Lalu pada ''Topik'' Gunawan, kekuatan andalannya adalah   presentasi visual nan penuh estetika, temanya antara lain tentang  kehidupan dan alam. Lalu Bambang Juliartha, menunjukkan tema-tema  sosial ataupun politik dengan gaya  humoris ataupun sarkastik.  

Tapi, serumit apapun pencaharian perupa, diamanapun mereka  memposisikan diri dalam peta sosial seni rupa, ketika sejarah bergerak dan memproduksi wacana serta perupa baru, posisi bisa saja bergerak.Bila di awal mereka berada diluar mainstream  atawa Outside  of Frame,  ketika sejarah memproduksi wacana dan perupa baru mereka bisa didorong kedalam mainstream dan menjadi Inside of Frame. Memang, tak berarti yang Outside  of Frame lebih heroik dibanding yang dianggap Inside of Frame, selain menyatakan bahwa setiap pencarian dan kreativitas, semuanya hendak mencapai satu titik eksistensial, dimana kreativitas mereka mendapat pengakuan. Pergulatan eksistensial ini memerlukan kritik yang obyektif, tapi juga pencatatan akademis yang imparsial, agar mosaik-mosaik yang terlepas, menyatu membentuk peta seni rupa Bali secara keseluruhan.

Putu Wirata Dwikora, pecinta seni rupa.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar